Pengembangan Solusi Praktis Melalui Penelitian Terapan yang Etis

FK-KMK UGM. Etika penelitian merupakan suatu isu yang selalu dipertimbangkan oleh peneliti sebelum mulai melaksanakan riset. Namun belum banyak yang menyadari perbedaan antara etika pada penelitian klinis dan penelitian terapan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan pemahaman para tenaga medis dan calon tenaga medis terkait etika penelitian, Dr Mahnaz Vahedi, seorang peneliti dari WHO, hadir membawakan kuliah tamu dengan topik Etika dalam Penelitian Terapan (28/09).

Menurut Dr Mahnaz, terdapat tiga jenis etika yang perlu diperhatikan dalam penelitian terapan, yaitu etika medis, etika penelitian, dan etika kesehatan masyarakat. Etika yang terakhir inilah yang membuat penelitian terapan berbeda dari penelitian klinis. Karena perlu mempertimbangkan lebih banyak aspek, terdapat potensi timbulnya konflik antar prinsip etika tersebut. Salah satu contohnya, antara aspek keadilan dan efisiensi pada kasus sumber daya intervensi yang terbatas. Contoh lainnya meliputi aspek otonomi dan solidaritas, kerahasiaan dan publisitas, serta kerahasiaan dan penatagunaan. “Tidak ada yang benar atau salah dalam menjawab permasalahan etika, semuanya tergantung situasi kondisi,” tegas Dr Mahnaz.

Perbedaan lain antara penelitian klinis dan terapan terletak pada tujuan penelitian. Penelitian biomedis atau klinis berbentuk randomized clinical trials bertujuan untuk membuktikan efektivitas dan efisiensi intervensi. Sementara itu, penelitian terapan selain bertujuan memberikan solusi atas permasalahan tertentu secara praktis, juga harus memastikan keamanan dan keselamatan partisipan penelitiannya. Beberapa fokus pertimbangan etika dalam penelitian terapan adalah menyeimbangkan manfaat dan resiko, menjunjung tinggi otonomi partisipan penelitian, menegakkan keadilan, serta isu lain seperti responsif, keberlanjutan, dan pemberdayaan. “Misalnya pada pertimbangan keadilan, kita perlu menanyakan apakah penelitian ini benar-benar perlu dilakukan? Apakah adil bagi populasi tersebut jika kita melakukan pengujian pada mereka hanya untuk publikasi?” kata Dr Mahnaz memberikan contoh.

Apabila seluruh aspek etika tidak dipertimbangkan secara matang, maka dapat timbul potensi bahaya bagi partisipan. Misalnya pada kasus penelitian rotavirus, partisipan pada kelompok kontrol dapat mengajukan keberatan diinjeksikan vaksin pneumococcal. Secara keseluruhan, terdapat lima jenis bahaya, antara lain bahaya individual, bahaya sosial, bahaya finansial, bahaya komunal, dan bahaya bagi sistem pelayanan kesehatan.

Dr Mahnaz menekankan sekali lagi pentingnya meminta informed consent dari partisipan penelitian. Sebelum membuat informed consent, terdapat empat pertanyaan yang perlu dipertimbangkan, yaitu apakah informed consent diperlukan, apakah memungkinkan meminta informed consent dari seluruh partisipan, apakah informed consent tersebut bermakna, dan apakah informed consent tersebut akan disetujui oleh komite etik.

Pada akhirnya, Dr Mahnaz menyimpulkan tiga tahap penelitian terapan dan pertimbangan etika pada masing-masing tahap. Pada tahap perencanaan, pertimbangannya meliputi desain penelitian, interaksi dengan komunitas dan stakeholder, serta keseimbangan antara resiko dan manfaat. Pada tahap implementasi, pertimbangannya antara lain informed consent, privasi dan kerahasiaan, serta pemberdayaan komunitas dan pelayanan kesehatan. Pada tahap akhir yaitu sesudah penelitian, pertimbangannya berupa kepemilikan data, keberlanjutan, dan manfaat publikasi.

Dr Mahnaz menutup pemaparannya dengan diskusi kasus. Harapannya, jumlah penelitian terapan di Indonesia dapat terus meningkat kualitas dan kuantitasnya, sehingga bukan hanya ide dan konsep intervensi saja yang berkembang, namun juga penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. (Elwina/Reporter)

Berita Terbaru