HIV dan IMS: Manajemen Terkini untuk Masalah Klasik

FK-KMK UGM. Angka penyakit tidak menular belakangan ini melonjak naik, namun bukan berarti penyakit menular lantas menjadi lagu lama yang diabaikan. Nyatanya, permasalahan penyakit menular masih tinggi prevalensinya di Indonesia, salah satunya penyakit menular seksual yang disebabkan infeksi HIV dan infeksi menular seksual (IMS) lainnya. Oleh karena itu, untuk menyegarkan kembali pengetahuan para tenaga medis, serta bertukar informasi terapi termutakhir terkait kasus-kasus HIV dan IMS,  Departemen Kulit dan Kelamin FK-KMK UGM bekerjasama dengan Perkumpulan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski) cabang DIY menyelenggarakan simposium bertajuk “Kupas Tuntas Manajemen HIV dan IMS Terkini”. Simposium ini diilangsungkan pada Kamis, 30 Agustus di Auditorium FK-KMK UGM dengan target peserta dokter umum dan dokter spesialis kulit dan kelamin.

Sesi pertama dari simposium tersebut menghadirkan dr Yanri Wijayanti, Sp.PD., PhD. untuk membagikan informasi mengenai manajemen HIV pada berbagai tingkat fasilitas kesehatan, mulai dari PPK 1 di puskesmas hingga PPK 3 di rumah sakit, khususnya Poli Edelweis RSUP Sardjito. Dr Yanri banyak memaparkan tentang stadium HIV, gejala-gejala, serta manifestasi pada penyakit dalam. Selain berdampak pada kulit dan kelamin, HIV juga banyak berhubungan dengan penyakit internal, sehingga perspektif dari spesialis penyakit dalam juga menjadi penting untuk dipertimbangkan.

Dr. dr. Satiti Retno Pudjiati, Sp.KK (K) membawakan sesi kedua, yaitu manajemen IMS di PPK 1 dan PPK 3. Dr Satiti menjelaskan mengenai jenis-jenis kasus IMS yang kerap ditemui serta cara penanganannya. Meskipun IMS bukan penyakit baru, kenyatannya masih banyak dokter umum di puskesmas yang belum dapat memberikan terapi secara tepat. Diagnosis IMS melalui wawancara saja memang sulit, kerap kali dokter terkecoh oleh perkiraan infeksi yang tumpang tindih sehingga memberikan obat secara berlebihan. Oleh karena itu, dibutuhkan pula pemeriksaan laboratorium sebagai baku emas dalam memberikan terapi secara akurat dan menghindari resistensi obat.

Pembicara ketiga merupakan tamu pakar dari Belanda yang tengah berkunjung, yaitu Dr. Marianne Louise Grjse, seorang dokter kulit yang mengambil konsentrasi pada bidang HIV. Beliau telah banyak berkeliling dunia dan menjumpai berbagai kasus-kasus terkait HIV. Pada kesempatan di simposium ini, Dr. Marianne dengan senang hati membagikan cerita tentang kasus-kasus menarik yang beliau temukan di Afrika serta manifestasi kulit pada pasien-pasien pada kasus tersebut.

Tema yang menarik, biaya yang terjangkau, serta adanya SKP dari IDI menyebabkan anemo peserta akan simposium ini terbilang sangat tinggi. “Awalnya kami tidak yakin peminatnya banyak, target awal kami hanya 80 orang. Namun ternyata pendaftar membludak hinggak 140 orang. Saat hari H ruangan benar-benar penuh sampai kami tidak dapat menerima peserta on the spot (OTS),” ungkap dr Haken Tennizar Toena selaku ketua panitia dari acara simposium. Harapannya, simposium mengenai HIV dan IMS dapat dilaksanakan secara rutin setahun sekali dan ke depannya dapat dikembangkan pula dalam bentuk workshop yang dapat semakin meningkatkan kualitas dokter umum dan dokter spesialis kulit di Indonesia. (Elwina/Reporter)