Neglected Tropical Disease: Masih Kerap Dijumpai

FK-KMK UGM. Tahun 2015, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membuat target untuk mengeleminasi secara global Frambusia, Penyakit Hansen, Filariasis, dan sebagian besar Neglected Tropical Disease (NTD) lainnya sebelum tahun 2020. Namun, tiga tahun kemudian, penyakit-penyakit tersebut masih kerap kita jumpai di Indonesia dan area tropis lainnya di Asia dan Afrika.

Prof. dr. William R. Faber, pakar dalam bidang NTD, Department of Dermatology Academic Medical Center (AMC), University of Amsterdam, Belanda memenuhi undangan Departemen Dermatologi dan Venerologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM (FK-KMK UGM) dalam kuliah tamu yang berjudul “Neglected Tropical Skin Diseases” untuk menjelaskan lebih dalam mengenai topik tersebut.

“Penyakit-penyakit tropis ini disebut terlupakan karena secara eksklusif hanya diderita oleh orang-orang terlupakan pula, yaitu orang-orang paling miskin di area paling terbelakang,” Prof. Faber membuka kuliah tamu dengan menjelaskan definisi dari NTD itu sendiri. Hubungan timbal balik antara penyakit dan kemiskinan inilah yang menyebabkan NTD sulit diberantas dalam waktu singkat.

Menurut Laporan WHO yang keempat mengenai NTD, terdapat lima langkah intervensi yang dapat dilakukan guna menekan prevalensi NTD. Yang pertama adalah preventive chemotherapy, yaitu intervensi yang dapat melawan setidaknya lima penyakit dan merupakan salah satu jenis intervensi paling sukses sepanjang sejarah. Tidak hanya secara preventif, bentuk pelayanan kuratif berupa manajemen penyakit juga harus semakin inovatif dan intensif. Vektor ekologi seperti reservoir juga perlu diperhatikan dan pelayanan kesehatan masyarakat veteriner turut memegang peranan penting. Tidak boleh dilupakan pula Water, Sanitation, and Hygiene (WASH) yang menjadi pemeran kunci dalam mengendalikan NTD yang harus senantiasa dijaga kualitasnya.

Booklet dari WHO yang berjudul Recognizing NTD Through Changes on the Skin menunjukkan bahwa kulit memiliki pengaruh besar dalam NTD. Hal ini disebabkan karena bakteri yang menyebabkan infeksi kulit dapat menjadi invasif dan pada akhirnya mengakibatkan penyakit autoimun ginjal atau jantung.

WHO telah mengupayakan banyak strategi untuk mengendalikan angka NTD, misalnya 2012 WHO Yaws Eradication Strategy dan 2016-2020 WHO Global Leprosy Strategy. Akan tetapi, rencana-rencana tersebut tidak selalu berjalan dengan lancar. Program eradikasi frambusia (yaws) tersebut sempat terhenti karena kekurangan dana, sehingga mengakibatkan insidensi penyakit frambusia kembali meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa usaha untuk menghapuskan NTD tidak boleh setengah-setengah dan harus dilakukan dalam jangka panjang. “Because where the road ends, the yaw begins”, kata Prof. Faber.

Untuk menjaga keberlanjutan dan meningkatkan keberhasilan programnya, WHO kini menggaet organisasi dari seluruh dunia untuk bergerak bersama menghapuskan NTD. Global Partnership for Zero Leprosy yang terdiri dari WHO, ILEP, IDEA, Sasakawa Foundation, dan Novartis berkomitmen untuk melancarkan proses eradikasi penyakit hansen atau lepra di dunia dengan cara mempercepat penelitian, meningkatkan inovasi, dan meningkatkan advokasi dan penggalangan dana.

Harapannya, NTD tidak lagi menjadi penyakit yang ‘terlupakan’ dan para pakar di seluruh dunia dapat melihatnya sebagai peluang untuk mengadakan riset yang dapat membuahkan inovasi-inovasi baru yang bermanfaat. (Elwina/Reporter)