FKKMK Melatih 25 Puskesmas Sleman

FKKMK-UGM. Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM melalui program Community and Family Health Care Inter-Professional Education (CFHC-IPE) menggelar kegiatan pelatihan untuk tenaga kesehatan dari 25 Puskesmas di Sleman. Acara yang berlangsung, Minggu (5/5) di Grand Keisha Yogyakarta dan dihadiri oleh Bupati Sleman, Drs. H. Sri Purnomo, M.Si., merupakan salah satu agenda untuk mempersiapkan dan melatih petugas layanan kesehatan di puskesmas tentang kolaborasi interprofesi (Interprofessional Collaboration Practice-IPCP).

“Harapannya, Puskesmas bisa berkolaborasi dan memberikan contoh pada mahasiswa untuk belajar kesehatan komunitas di wilayah kabupaten Sleman,” ujar Ketua I CFHC – IPE, dr. Widyandana, MHPE., PhD., SpM. Dokter ahli kesehatan mata ini juga menambahkan bahwa kegiatan dengan Puskesmas se-Sleman ini diharapkan mampu menjadi bentuk kerjasama yang saling menguntungkan. “Puskesmas kami perbaiki IPCP-nya dan mahasiswa bisa belajar IPE dari Puskesmas. Selain itu, Puskesmas pun bisa belajar IPE dari mahasiswa,” imbuhnya.

Selama satu periode, kegiatan CFHC-IPE bisa menjangkau 3.200 keluarga.  Program tersebut saat ini memang masih mengutamakan kabupaten Sleman karena program ini memang dijalankan untuk mendampingi wilayah UGM terlebih dahulu, dan wilayah tersebut terdekat dengan UGM.

“Kapasitas kami setiap tahunnya menambah 7 Kecamatan, dan di situ diharapkan mampu menjangkau 80 dasawisma. Memang yang butuh pendampingan kami dahulukan. Saat ini di wilayah Sleman belum selesai, dan kami fokus di DIY dulu,” ungkap dr. Widyandana.

Lalu bagaiman tim CFHC-IPE mengetahui wilayah yang harus didahulukan?  Tim CFHC-IPE FKKMK UGM mengacu pada indikator Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK) yang telah dicanangkan pemerintah. Akses air bersih, jamban keluarga, imunisasi dasar lengkap, pertumbuhan balita terpantau, persalinan ibu di faskes, ASI eksklusif untuk bayi, keluarga anggota JKN, anggota keluarga tidak merokok, penderita TB paru berobat sesuai standar, penderita hipertensi berobat teratur, maupun penderita gangguan jiwa berat diobati tidak ditelantarkan, menjadi beberapa indikator untuk menilai wilayah mana yang akan didahulukan untuk mendapatkan pendampingan.

Tahun pertama, mahasiswa mendapatkan pelatihan pendampingan keluarga. Dalam forum ini, mahasiswa  memiliki dinamika kelompok untuk berkomunikasi dengan masyarakat ataupun perwakilan keluarga. Pada tahun ini, mahasiswa mendampingi 3 keluarga. Tahun kedua, mahasiswa diminta mendampingi keluarga dengan isu spesifik.  Pada tahun ini mereka memberikan konseling  pada 5 keluarga, baik dari aspek gizi, keperawatan, maupun kedokteran (IPE).

Tahun ketiga, mahasiswa sudah mendampingi komunitas dengan level dasawisma. Sedangkan pada tahun keempat, mengenai family disaster management. “Jadi selama 7 semester, mahasiswa mengerjakan semua itu untuk memperkuat kompetensi dan terutama memperkuat PIS-PK,” pungkas dr. Widyandana. (Wiwin/IRO; Foto/Dok. Panitia)