Bugar dengan Mengkonsumsi Pangan Lokal

FKKMK UGM – Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset dan SDM Dr Mahardika meyakini bahwa talkshow/bedah buku yang rutin digelar FKKMK UGM mampu mengedukasi masyarakat, membuka wawasan, dan memberi kesempatan publik menambah ilmu sekaligus sebagai media mendekatkan hasil karya dosen ke publik. “Tugas dosen itu banyak, tidak hanya mengajar, melakukan riset dan praktik klinik tapi juga (menghasilkan karya tulis) membuat buku,” ujar Dr Mahardika ketika membuka acara talkshow/bedah buku bertajuk ‘Bugar dengan Mengkonsumsi Pangan Lokal’, Rabu (18/4) di perpustakaan FKKMK UGM. “Manfaatkan sebaik-baiknya kesempatan ini untuk bertanya kepada para narasumber. Dari judul talkshow-nya sudah menarik, ada istilah pangan lokal. (Kita tahu) Indonesia kaya akan pangan lokal yang mengandung serat pangan untuk pencegahan penyakit-penyakit degeneratif non infeksi. Bahkan pangan lokal sekaligus sebagai suplemen maupun komplemen,” pungkasnya.

Talkshow/bedah buku kali ini menampilkan buku ‘Serat Pangan dalam Penanganan Sindrom Metabolik’ karya staf pengajar Departemen Biokimia Dr Sunarti yang dikupas secara interaktif lintas disiplin, tidak sebatas pada serat pangannya tapi juga pada aspek klinisnya yaitu mengenai sindrom metabolik serta bahasan dari aspek gizi seimbang pada pangan lokal. Moderator Eri Yanuar -staf pengajar program studi keperawatan memandu jalannya talkshow/bedah buku.

Apa itu serat pangan? Dr Sunarti memaparkan serat pangan adalah bagian dari karbohidrat banyak terdapat pada sayuran dan buah, yang tidak dapat dicerna enzim saluran pencernaan sehingga juga tidak dapat diabsorbsi di usus halus. Namun bisa difermentasi oleh bakteri di saluran usus besar. Serat pangan memiliki fungsi fisiologis yang bagus untuk tubuh, baik itu yang larut dalam air maupun yang tidak larut, untuk mencegah sindrom metabolik dan penyakit degeneratif yang menyertainya (diabetes, obesitas), juga untuk  mencegah konstipasi anti sembelit. Selain itu, karena resisten terhadap proses pencernaan dan penyerapan, serat pangan mampu  mengatur kadar gula darah, menimbulkan rasa kenyang lebih lama sehingga menurunkan nafsu makan. “Serat bisa membuat makanan lebih kental dalam lambung sehingga memperlambat pencernaan yang bermanfaat mencegah gula darah tinggi. Hal inilah yang dipercaya bermanfaat bagi penderita diabetes, dan juga untuk penurunan berat badan bagi penderita obesitas. Serat pangan juga bermanfaat membantu pertumbuhan bakteri baik di dalam usus sehingga meningkatkan fungsi imun tubuh dan mengurangi risiko terhadap kanker kolon,” urai Dr Sunarti.

Fungsi fisiologis lainnya, serat pangan mampu mengikat asam empedu untuk merangsang hati memproduksi empedu yang mampu memecah lemak sehingga akan menurunkan kadar kolesterol dalam plasma darah.  Dr. Sunarti menambahkan bahwa makanan berserat mengandung anti oksidan tinggi, bermanfaat bagi tubuh bisa mengendalikan faktor genetik, tentu dengan efek yang membutuhkan proses. Faktor nutrisi dan olah raga butuh proses yang panjang dirasakan manfaatnya bagi kesehatan tapi selamanya. Beda dengan obat, efeknya cepat dirasakan tubuh tapi kondisi semula sebelum diberi obat dapat balik lagi ketika obat sudah tidak mempan.

Narasumber yang membahas aspek klinis sindrom metabolik, dr. Warigit Dwi Atmoko, SpPD mengapresiasi buku karya Dr Sunarti yang dengan gamblang menguraikan pengertian serat pangan termasuk fungsi fisiologis, peran serat pangan penanganan sindrom metabolik termasuk bagaimana serat pangan dapat memperbaiki kondisi kesehatan. Dokter Warigit -lebih dikenal dengan nama dr. Yongki AFI yang berdinas di RSUD Moewardi Solo menjelaskan sindrom metabolik adalah kumpulan gejala yang berpotensi meningkatkan penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung dan stroke. Kumpulan gejalanya terjadi secara bersamaan yaitu hipertensi (tekanan darah tinggi), hiperglikemia (kadar gula darah tinggi), hiperkolesterolemia (kadar kolesterol tinggi). Gejala parameternya obesitas yang bisa diukur dari lingkar perut, untuk pria Asia > 90 dan perempuan > 80 sudah melebihi batas normal masuk kategori obesitas. Selain itu juga tekanan darah yang senantiasa berkisar di 140/90 mmHg atau lebih, kadar kolesterol baik (HDL) yang rendah  kurang dari 40 mg/dL untuk pria dan 50 mg/dL untuk wanita. Tanda klinis lainnya adalah kadar Trigliserida yang tinggi dalam darah, yaitu > 150 dan kadar gula darah puasa yang tinggi, yaitu 100 mg/dL ke atas.

Tren saat ini penyakit tidak menular (NCD) yang prevelansinya meningkat, sangat dekat korelasinya dengan makanan dan gaya hidup. Selain obesitas, sindrom metabolik juga dipengaruhi pola makan dan gaya hidup yang kurang aktif, tidak pernah olah raga. “Perlu pembiasaaan gaya hidup sehat yang identik dengan olah raga, minimal 30 menit per hari, 4 kali dalam seminggu atau minimal 3x seminggu. Dan yang terpenting pilih olah raga yang teratur gerakannya/ritmis untuk kesehatan jantung seperti jalan cepat, lari, renang, dan melakukannya secara benar berurutan mulai dari pemanasan, gerakan inti, dan diakhiri dengan sesi pendinginan,” saran dr Yongki.  Olah raga juga membantu kita terhindar dari stress karena setelah olah raga tubuh mengeluarkan endorphin,  badan lebih segar, ceria, perasaan jadi senang bahagia dan bagus juga untuk kekebalan tubuh. Bagaimana memotivasi diri untuk berolah raga? Menurut dr. Yongki, usia orang Indonesia rata-rata 70-80 tahun perlu menjalaninya dengan  tetap bugar. Apalagi saat ini penyakit degeneratif, menurunnya fungsi-fungsi organ tubuh sudah terjadi pada rentang usia 30-35 tahun sehingga perlu pengaturan pola hidup sehat dibarengi pola makan yang sehat. Pola makan sehat tentu harus memperhatikan gizi seimbang dan perbanyak asupan makanan berserat. Faktor genetik juga berpengaruh, lebih menuntut pengaturan pola hidup sehat dengan berolah raga. Tidak mungkin tidak berolah raga, perlu mempertimbangkan usia dengan jenis olah raga yang cocok. Ikut komunitas-komunitas (komunitas gowes, komunitas lari) untuk lebih memotivasi. Tak kalah penting manajemen stress, kemampuan kita mengatasi gangguan mental dan emosional.

Gizi seimbang merujuk pada asupan makanan yang mengandung berbagai gizi dengan jenis dan jumlah yang disesuaikan kebutuhan sehari-hari, tidak berlebihan, dengan memperhatikan prinsip keanekaragaman pangan. Gizi seimbang dibutuhkan untuk metabolisme tubuh. Dr. Fatma Zuhrotun -staf pengajar Departemen Gizi Kesehatan menyebut istilah triguna makanan, sebagai zat tenaga dari karbohidrat dan lemak, sebagai zat pengatur (mineral dan vitamin dari buah), terakhir sebagai zat pembangun (protein nabati dan hewani).  Dalam buku karya Dr Sunarti disebutkan bahwa serat pangan memang tidak mengandung zat gizi, tetapi serat pangan mempunyai fungsi yang tidak dapat digantikan oleh zat lain dalam menstimulasi perbaikan kondisi fisiologis dan metabolik. Serat pangan yang mampu mengatasi sindrom metabolik dan penyakit degeneratif yang menyertainya banyak terkandung dalam pangan lokal. “Pangan lokal adalah pangan yang diproduksi berdasarkan potensi lokal (Indonesia) seperti singkong, ubi jalar, dan umbi-umbian lain. Pangan lokal juga menunjukkan potensi kearifan lokal sehingga harus dibiasakan mengolah makanan dari tepung ketela, umbi sebagai bentuk ketahanan pangan lokal untuk mengurangi ketergantumgan pangan impor seperti gandum (tepung terigu). Apalagi gandum/terigu mengandung  gluten yang dipercaya memicu autoimmune,” tambah Dr Fatma.  Kelebihan pangan lokal mudah didapat karena ditanam sendiri (tidak perlu impor), terjangkau karena masing-masing daerah punya potensi pangan lokal,  tentunya bisa mencegah sindrom metabolik, selain melestarikan budaya (kekayaan hayati) Indonesia. Sayangnya belum banyak yang membudidayakan sehingga beberapa pangan lokal yang berserat harganya lebih tinggi dibandingkan harga terigu.

Patut diperhatikan adalah proses memilih dan mengolah pangan lokal supaya menarik dan tetap sehat. Pemilihan pangan lokal secara kasat mata yang segar, tidak berubah warna, dan tidak banyak tunasnya. Adapun untuk pengolahannya, sayur dan kacang relatif mudah dibandingkan umbi karena ada kandungan sianidanya sehingga perlu perendaman dan pencucian. Proses pengolahan pangan lokal bisa dengan perebusan, pemanggangan, atau penggorengan asalkan dengan minyak yang baru. Cara pengolahaan juga perlu dikampanyekan melalui program-program pengabdian masyarakat.

Dalam diskusi mencuat juga bahwasanya proses pengolahan pangan lokal juga mempengaruhi fungsi manfaat pada tubuh. Salah satu peserta menyakan bagaimana efek terhadap gizi terutama umbi yang dibuat tepung, apakah mempengaruhi indeks glikemik makanan (IG)? Tentu ada perbedaan nilai gizinya antara pangan lokal mentah diolah menjadi tepung atau pangan lokal yang dikonsumsi matang. Tapi tidak perlu takut dengan proses pemanasan karena sebenarnya bisa meningkatkan gizi, meskipun kadar vitamin turun.     \sari [foto: Aryo]