Industri Rokok Menyasar Generasi Muda

FK-UGM. Kebiasaan buruk merokok meningkat pada generasi muda di Indonesia. Tahun 2014, menunjukkan prevalensi remaja usia 16-19 tahun yang merokok meningkat 3 kali lipat menjadi 20,5% dari 7,1% di tahun 1995. Dan yang lebih mengejutkan adalah usia mulai merokok semakin muda (dini).  Perokok pemula usia 10-14 tahun meningkat lebih dari 100% dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun menjadi 18% di tahun 2013 dari  8,9% di tahun 1995. (Kemenkes, 2016)

Di Indonesia sendiri pengendalian rokok masih minimal. Indonesia menjadi negara nomor tiga terbanyak jumlah perokoknya di dunia setelah Tiongkok dan India. Tema Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) 2017 yang diperingati setiap tanggal 31 Mei adalah “Rokok Ancam Kita dan Pembangunan”. Kenapa Pembangunan? karena target industri rokok saat ini adalah generasi muda. Jika generasi muda sudah rusak dari awal, maka niscaya merusak pembangunan (suatu bangsa). Berbagai riset kesehatan menyatakan bahwa rokok berbahaya untuk kesehatan dan menimbulkan dampak kesehatan. “Jika biaya kesehatan perokok dibiayai oleh negara, maka dana negara akan habis untuk membiayai kesehatan perokok sehingga dana yang sebetulnya bisa untuk pembangunan digunakan untuk membiayai orang sakit (karena merokok). Banyaknya generasi muda yang sakit karena rokok, otomatis mengurangi produktivitas juga”, ujar Yayi saat ditanyai tema HTTS tahun ini. Menurut Yayi, 67% dari laki-laki usia 15 tahun ke atas yang mungkin 70%-nya peserta BPJS adalah perokok aktif.

Lingkungan keluarga dan peran serta orang tua sangat menentukan pengendalian rokok untuk anak-anak atau generasi muda. Kerjasama lintas sektoral, salah satunya dengan sekolah juga diperlukan, antara lain melalui berbagai aktivitas ekstrakurikuler di siang dan sore hari sehingga mampu menghindarkan anak-anak dari kebiasaan ‘nongkrong’. “Nongkrong tanpa tujuan merupakan awal mula anak-anak mengenal rokok. Memang peran utama adalah keluarga, sehingga jika memang ada orang dewasa yang masih merokok jangan merokok di depan anaknya atau tidak merokok di dalam rumah,” saran Dra. Yayi Suryo Prabandari, MSi., PhD saat ditanya pendekatan yang efektif untuk mengendalikan rokok pada anak-anak.

Hingga saat ini Indonesia belum menandatangani ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Salah satu dari isi FCTC memberikan perlindungan kepada anak-anak. “Penjualan tidak boleh untuk usia 18 tahun, penjualan rokok akan dibatasi sehingga tidak ada akses untuk anak-anak, harga rokok mahal sehingga tidak terjangkau oleh anak-anak, dan adanya kawasan rokok dimana-mana,” ungkap Yayi yang merupakan Ketua Quit Tobacco Indonesia FK UGM. “Sekolah dan universitas juga harus menjadi kawasan tanpa rokok”, tegas Yayi.

Yayi menghimbau untuk para akademisi lain ikut konsen dalam masalah ini, setidaknya memberikan hasil kajian untuk turut serta mengadvokasi pemerintah, supaya pemerintah memiliki kebijakan dalam melindungi masyarakat kita. Menambah penelitian mengenai dampak merokok, sehingga advokasi ke pemerintah berbasis bukti. Yayi juga menambahkan, pemerintah mulai mengkaji permaslahan ini, jika memanggil expert yang netral baik dari sisi yang menolak maupun mendukung. (Dian/IRO)

Berita Terbaru