Miskonsepsi masyarakat terhadap bahaya rokok melanggengkan budaya merokok pada masyarakat. Pesan itulah yang ingin disampaikan oleh Nathalia C. Tjandra, BA (Hons), MA., PhD., PGCE., MAM., FHEA, seorang staf pengajar dari Edinburgh Napier University dalam kegiatan kuliah umum yang diselenggarakan oleh Departemen Perilaku Kesehatan, Kedokteran Sosial dan Kesehatan lingkungan Fakultas Kedokteran UGM di Ruang Auditorium, Senin (6/6).
Sampai saat ini pemerintah belum melarang adanya iklan rokok seperti yang dilakukan negara luar. Padahal jumlah perokok di Indonesia terus merangkak naik. Oleh masyarakat awam hal ini dianggap sebagai sebuah kewajaran. Sebagian besar perokok aktif menganggap bahwa rokok tidak berbahaya selama mereka masih melakukan aktifitas olah raga untuk membuang nikotin dalam tubuh melalui keringat, papar Nathalia saat menuturkan kisah hasil wawancara dengan berbagai responden. Kegelisahan Nathalia ini -pun semakin diperkuat dengan melihat hadirnya fenomena bayi merokok di Indonesia yang sanggup menghabiskan 40 batang rokok per hari.
Melihat fenomena ini, Nathalia tertarik untuk mengupas lebih dalam mengenai etika pemasaran yang dilakukan oleh produsen rokok hingga mampu mempengaruhi konsepsi khalayak terhadap rokok. Penelitiannya dimulai dengan melakukan kajian iklan rokok di Indonesia melalui perspektif etika marketing. Lebih tepatnya menggunakan kajian Classical Ethical Theory. Nathalia menekankan bahwa penerapan Marketing ethics harus mampu memberikan value, meningkatkan kualitas hidup, dan memberikan manfaat bagi masyarakat luas.
Selama ini iklan rokok secara eksplisit memang tidak mengajak orang untuk merokok. Akan tetapi, produsen rokok menempuh berbagai macam cara pemasaran melalui berbagai macam media. Beberapa media telah digunakan oleh produsen rokok diantaranya melalui sosial media, berbagai event, beasiswa maupun bantuan bencana. Di titik itulah rokok mampu meraih perhatian publik yang tak terbatas termasuk anak-anak dan remaja.
Dari data penelitian di Indonesia, Nathalia menemukan bahwa terdapat kurang lebih 36.2 persen remaja sebagai perokok dan 73 persen rentan terhadap rokok. Jumlah ini tentu sangat jauh berbeda dengan UK. “Jumlah perokok laki-laki dan perempuan di UK hanya sekitar 2-3 persen saja,” terang Doktor di bidang marketing ini.
Fenomena banyaknya jumlah perokok di Indonesia sudah menjadi kegelisahan bagi sistem kesehatan Negara. Berbagai macam penelitian dan kampanye mengenai bahaya merokok telah dilakukan. Akan tetapi hasilnya dirasakan belum maksimal. Di samping itu, usaha pemerintah untuk mengatasi rokok masih kurang. Tobacco Control Budget di Indonesia hanya mencapai 320 juta rupiah per tahun tentu merupakan angka yang sangat kurang dibandingkan dengan jumlah populasi penduduk Indonesia yang mencapai hampir 350 juta.
Menanggapi hal ini, Nathalia menyatakan bahwa kegiatan penelitian, kampanye, edukasi maupun advokasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tidak dapat berjalan secara parsial. Perlu upaya komprehensif dari individu maupun masyarakat luas untuk mendukung upaya ini, terutama peran negara.
“Kita akan mulai melakukan pendekatan ke sekolah-sekolah dan orang tua agar mampu mempunyai pengetahuan dan kesadaran akan bahaya merokok dan akhirnya menyatakan ‘No’ pada rokok”, tegas Nathalia saat menutup diskusinya.
Kegelisahan dalam diskusi kali ini sejatinya bukan hanya terletak pada seberapa etis iklan tersebut telah mempengaruhi budaya hidup masyarakat untuk mengkonsumsi rokok. Dalam perspektif kedokteran, setidaknya diskusi akan lebih mendalam jika mampu melihat seberapa jauh etika kesehatan bisa ditempatkan dengan tepat dan benar dalam etika pemasaran sehingga mampu menggugah kesadaran serta mengubah habitus hidup masyarakat terhadap rokok. (Wiwin/IRO).