Semua orang berpotensi mengidap penyakit lupus. Evolusi perkembangan penyakit ini sejatinya ada dalam perjalanan kehidupan manusia itu sendiri. Gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit yang beragam menjadikan penyakit ini semakin tidak mudah untuk dikenali penyebabnya. Meskipun belum bisa ditemukan secara pasti mengenai penyebab penyakit lupus, namun masih bisa dideteksi beberapa faktor yang mampu memicu munculnya penyakit Lupus.
“Faktor genetik, imunologi dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi Lupus Eritematosus Sistemik (LES),” papar dr. Deddy Nur Wachid Achadiono, M.Kes., SpPD-KR, ahli Rematologi Fakultas Kedokteran UGM saat mengawali presentasinya di Ruang Pertemuan Gedung Diklat lantai IV RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta, Selasa, (10/5).
Saat diwawancarai di ruang terpisah, Prof.dr. Nyoman Kertia, SpPD-KR, Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UGM menegaskan bahwa, “Lupus merupakan penyakit autoimun yang berarti bahwa sistem imun manusia mengalami kekacauan dan salah pengendalian, sehingga manifestasinya bisa macam-macam di dalam tubuh seperti kerusakan kulit, jantung, paru-paru, ginjal, otak, saraf dan hampir semua organ tubuh bisa terkena.”
Meskipun tergolong penyakit yang tidak menular, sangatlah tidak mudah bagi Odapus (orang dengan lupus) untuk menerima berbagai terapi maupun manifestasi yang muncul dalam tubuh akibat penyakit Lupus. Terapi yang dilakukan selama ini masih bersifat simptomatik dengan upaya pengobatan berdasar atas gejala ataupun keluhan semata. Manajemen stress, diet, pola hidup sehat maupun bergabung dengan kelompok Odapus akan memberikan kesejahteraan fisik dan psikis untuk mendukung upaya terapi.
Prof. Wayan menyatakan bahwa istilah ‘sembuh’ dalam kasus Lupus belum bisa ditegaskan. Dalam kasus Lupus yang ada hanyalah remisi, artinya suatu kondisi di mana Odapus merasa enak dan nyaman seperti orang sehat meskipun dirinya masih mempunyai ‘benih’ lupus dalam tubuhnya.
Penderita lupus seringkali mengalami keterlambatan penanganan. Dr. Deddy mengungkapkan beberapa kendala yang mengakibatkan adanya keterlambatan diantaranya adalah pertama, belum pahamnya masyarakat maupun tenaga kesehatan mengenai deteksi dini penyakit dan penatalaksanaan Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Kedua, kurangnya integrasi antar berbagai bidang ilmu. Ketiga, perbedaan antara panduan penatalaksanaan klinis dan ketersediaan sarana dan prasarana. Keempat, biaya yang besar dalam diagnosis, penatalaksanaan, maupun monitoring penyakit. Dan yang terakhir adalah perjalanan penyakit yang tidak sama antar para Odapus.
Pelayanan satu pintu diyakini mampu memberikan solusi untuk masalah ini. Oleh karenanya, Lupus center akan segera didirikan sebagai center pertama di Indonesia yang menangani kasus Lupus sekaligus membentuk suatu registry mengenai SLE di Yogyakarta sebagai bagian dari National Lupus Registry, ujar dr. Deddy.
Lupus center menjadi upaya untuk menjalin kerjasama antar disiplin ilmu dalam satu kesatuan data perjalanan penyakit. “Harapannya, akan ada peningkatan kesadaran pengetahuan masyarakat tentang Lupus (self-awareness) dan terbentuknya sinergi dari sisi pasien, penyedia layanan kesehatan, peneliti maupun pengambil kebijakan dalam memberikan layanan yang tepat bagi penderita Lupus,” pungkasnya. (Wiwin/IRO)