Imunisasi: ‘Mengaktifkan’ Kekebalan Tubuh

Imunisasi merupakan sebuah ‘temuan’ pelayanan kesehatan yang sangat besar pengaruhnya dan dapat dirasakan perseorangan ataupun masyarakat luas. Mulai dari kemampuan untuk menurunkan angka kejadian penyakit, menekan terjadinya wabah, mengurangi beban ekonomi masyarakat karena biaya perawatan kesehatan, bahkan sampai dengan menurunkan angka kematian bayi maupun anak.

Tentu saja, sejak adanya ‘temuan’ itu masyarakat sudah mulai diimunisasi sejak dini. Namun faktanya, perkembangan penyakit dengan varian yang beragam akhir-akhir ini mampu memicu pertanyaan tersendiri bagi masyarakat awam. Mengapa masih ada penyakit di negeri ini? Apakah merupakan cermin kegagalan program imunisasi itu sendiri?.

Dalam tubuh manusia, terdapat dua kekebalan tubuh (sistem imun) yaitu kekebalan tubuh alamiah dan buatan. Kekebalan tubuh alamiah dapat diperoleh dari ibu. Sedangkan kekebalan tubuh buatan adalah kekebalan tubuh yang muncul karena adanya ‘rangsangan’ dari luar, seperti vaksin BCG untuk upaya pencegahan TBC sudah diberikan sejak dini karena tidak bisa diturunkan dari Ibu.

Kekebalan tubuh ada yang sifatnya non-spesifik dan spesifik. Kekebalan tubuh non-spesifik manusia misalnya tampak pada kulit manusia, mukosa, silia-silia di saluran nafas, maupun reflek batuk. Tubuh pada dasarnya semacam memiliki sistem penolakan terhadap ‘benda asing’ yang akan masuk.

Sistem kekebalan tubuh yang belum terbentuk tentunya akan memberikan pintu masuk bagi bakteri untuk menyerang tubuh. Tubuh tidak mempunyai sistem untuk ‘mengenali’ bakteri sehingga tidak ada upaya ‘perlindungan’ untuk menolak. Di titik inilah imunisasi penting untuk dilakukan agar tubuh mampu membentuk antibodi yang spesifik. Dengan adanya imunisasi, maka tubuh mempunyai sistem ‘perkenalan’ terhadap penyakit sekaligus merangsang aktifasi antibodi.

“Jikapun ada benda asing masuk ke dalam tubuh semacam infeksi virus, maka akan segera dihancurkan oleh sistem kekebalan tubuh,” papar Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Cabang Yogyakarta, dr. Sumadiono, SpA(K) saat diwawancarai di ruang kerjanya, Jumat (22/4).

Hal penting yang harus diperhatikan dalam pembentukan sistem kekebalan tubuh adalah ‘ketepatan’ waktu imunisasi. Imunisasi dilakukan secara tepat waktu dan bertahap agar dapat membentuk perlindungan tubuh secara maksimal. Apabila imunisasi dilakukan di luar jadwal, kecenderungan hasilnya tentu saja akan tidak maksimal. Oleh karenanya, IDAI telah menetapkan adanya jadwal imunisasi bagi balita.

“Penetapan jadwal imunisasi dilakukan melalui berbagai upaya penelitian, misalnya penelitian tentang pada usia kapan saja terjadinya penurunan antibodi ataupun kapan prevalensi kejadian penyakit itu muncul,” ungkap dokter ahli imunologi yang pernah mengikuti program magang di University of Saskathewan, Canada ini.

Penelitian tentang perkembangan imunisasi tentu saja seiring sejalan dengan penelitian mengenai pola kejadian penyakit. Tidak menutup kemungkinan jenis imunisasi akan lebih variatif di masa mendatang.

Pemerintah saat ini sudah menetapkan empat imunisasi wajib bagi balita mulai dari Hepatitis B, BCG, DPT dan Polio. Kewajiban ini berjalan beriringan dengan adanya subsidi negara untuk pembiayaan imunisasi. Bagaimana untuk subsidi imunisasi lain?. Dokter ahli ini menambahkan bahwa imunisasi yang tidak diwajibkan merupakan jenis imunisasi ‘pengembangan’ dan bersifat pilihan. Imunisasi jenis ini biasanya tergolong mahal karena belum ada subsidi negara di dalam pengadaannya.

Menyambut pekan imunisasi internasional (World Immunization Week) yang akan diselenggarakan pada tanggal 24-30 April 2016 di Bandung, pakar Imunologi Fakultas Kedokteran UGM ini berpesan bahwa masih ada permasalahan sosial yang seringkali muncul di masyarakat terkait imunisasi ini.

Ketakutan masyarakat terhadap ‘dampak’ imunisasi, misalnya vaksin MMR yang mengakibatkan autisme pada anak sudah dibantah oleh para ahli. Selain itu pertentangan mengenai produk halal-haram imunisasi karena ‘bersinggungan’ dengan produk babi masih saja menghantui masyarakat. “Sudah ada pernyataan alim ulama mengenai hal ini, bahwa tidak ada kandungan babi yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui imunisasi,” tegasnya.

Ditemui ditempat lain, menurut dr. Mei Neni Sitaresmi, Sp.A., Ph.D justru imunisasi ini sangat minim efek samping dan tidak terbukti berbahaya. Pasalnya, pembuatan vaksin ini melalui tiga fase penelitian yang sangat ketat dan satu fase percobaan sebelum akhirnya digunakan secara luas di masyarakat. Menanggapi halal tidaknya vaksin akan dapat selalu terjawab karena di setiap kampanye vaksin, pihak medis selalu menggandeng MUI untuk memberikan pemahaman lebih lanjut.

Adapun tiga golongan masyarakat terhadap pandangannya terhadap imunisasi, golongan yang menolak, ragu-ragu dan menerima imunisasi. Untuk golongan yang jelas-jelas menolak, menurut dr. Mei Neni tak perlu diajak untuk berkonfrontasi. Fokus kita sebaiknya ditujukan pada golongan masyarakat yang masih ragu-ragu. Berdiskusi dan memberikan pemahaman pada mereka bahwa imunisasi ini aman, efektif dan bermanfaat.

Harapannya dalam pekan imunisasi kali ini ada sinergisitas semua komponen baik akademisi, dokter muda, masyarakat, sudah seharusnya bersama-sama mengadvokasikan bahwa pemberian imunisasi sangat penting dan bermanfaat.(Uma/Reporter, Wiwin/IRO)