HARAPAN REVOLUSI MENTAL FK UGM

Gedung Joglo Grha Alumni Fakultas Kedokteran UGM “kedatangan” para alumni angkatan ’65 pada Sabtu ini, 1 Agustus 2015. Para alumni FK UGM ini mengadakan sarasehan mini bertemakan “Pendidikan Afektif Budaya”. Acara ini tak hanya dihadiri oleh angkatan ’65 saja, tapi juga menghadirkan dekan, ketua KAGAMA serta guru-guru besar FK UGM sebagai pembicara.

Acara dibuka dengan iringan gamelan Jawa nan apik dilanjutkan ramah tamah dari ketua panitia sekaligus sebagai perwakilan angkatan ’65 FK UGM, dr. JB Soebroto dan sambutan dekan FK UGM. Selaku narasumber angkatan ‘65, Dr. Ismojo Djati, M.Sc mengisahkan tentang angkatan ’65. Mulai dari suasana pembelajaran saat G30S PKI hingga prestasi-prestasi alumni. Prof. Dr. dr. H. Soenarto Satrowijoto, Sp.THT(K) melanjutkan mengenai filosofi etika kedokteran sebagai “jiwanya UGM”.

Nilai sejarah FK UGM disampaikan dengan komplit oleh Prof. Dr. dr. Sutaryo, Sp.A(K). Tak ayal beliau berhasil mencetuskan kebanggan warga FK UGM mengingat besarnya jasa dokter – dokter pendahulu menegakkan kedaulatan NKRI. Andil pula alumni yang kini menjabat sebagai direktur utama PT BP Kedaulatan Rakyat, dr. Gun Nugroho Samawi. Beliau menuturkan bagaimana Surat Kabar Harian (SKH) Kedaulatan Rakyat menjadi saksi kelahiran FK UGM. Selain itu, hadir pula narasumber – narasumber, antara lain Prof. dr. Harsono, Sp.S(K), dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (Bupati Kulon Progo), Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD, Prof. Dr. dr. Soeripto Sp.PA(K), Prof. Dr. dr. Nyoman Kertia, Sp.PD.KR (Dewan Riset DIY), dan dari Fakultas Ilmu Budaya, I Dewa Putu Wijana.

Pada awalnya, acara ini dibentuk sebagai peringatan pesta emas angkatan ’65 untuk mempertemukan dosen – dosen angkatan ’65 dengan alumnus. Lalu, berkembanglah ide untuk mengumpulkan testimoni pengalaman kesuksesan dokter-dokter angkatan ’65. Kumpulan testimoni tersebut akan dibukukan dan disumbangkan ke fakultas sebagai bentuk “warisan” semangat mengabdi para dokter pendahulu. Rencananya testimoni pengalaman tersebut tidak hanya menjadi program dokter-dokter angkatan ’65 tetapi menjadi program seluruh alumnus.

Ide untuk membukukan pengalaman – pengalaman itu disambut baik oleh pihak fakultas dan KAGAMADOK. Hal itu seiringan dengan cita-cita FK UGM untuk mendirikan Museum Pendidikan pengembangan dari Museum Antropologi sekarang. Acara ini merupakan salah satu “penyambutan” momentum yang sangat langka, yaitu “Monumental 70 tahun NKRI menuju 70 tahun FK UGM oleh Dosen 70 tahunan”. Acara monumental merupakan bentuk aktualisasi program revolusi mental bangsa.

Keprihatinan bahwa generasi sekarang ini mulai “melupakan” budaya sebagai salah satu kearifan lokal mencetuskan program “Grha Joglo Alumni miniatur Kampus Mangkubumen FK UGM” sebagai bagian dari sarana pendidikan budaya. Programnya ialah menjadikan tokoh-tokoh dalam pewayangan sebagai pitutur (tuntunan-red) mahasiswa FK UGM. Kelir mini (350 x 175 cm) sudah terpasang apik. Kelak, kelir tersebut akan bersanding dengan tokoh – tokoh wayang terpilih disertai deskripsi karakter teladan masing – masing. Pengadaan tokoh wayang lain dilakukan secara bertahap hingga Maret 2016.

“Profesionalisme itu memiliki 3 pilar yaitu Kognitif, Keterampilan, dan Afektif (Moral). Pada saat ini afektif sering diabaikan. Padahal ini merupakan hal terpenting untuk menjadi seorang dokter profesional. Di Mangkubumen dulu, karakter merupakan hal terpenting. Mahasiswa kedokteran harus memilik karakter yang baik. Tak masalah pada akhirnya berprofesi menjadi dokter atau tidak. Yang penting, ketika seseorang berkarakter baik, maka ia akan bermanfaat bagi orang lain”, tutur dr. JB Soebroto panjang lebar. Beliau mengaku prihatin pada sebagian dokter saat ini yang menggunakan statusnya sebagai lahan untuk menimbun kekayaan saja.

Budaya dokter yang “afektif” dari generasi Mangkubumen (generasi dokter ketika FK UGM berada di Mangkubumen-red) diharapkan dapat diturunkan ke generasi Sekip (generasi dokter FK UGM sekarang, yang lokasinya berada di Jalan Sekip-red).(Rista/Reporter)