Demam tifoid yang disebabkan oleh Salmonella enterica serovar Typhi (S. thphi) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia khususnya di negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. WHO memperkirakan terdapat 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insiden 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara-negara dengan status endemis demam tifoid, 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insiden yang sebenarnya 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap rumah sakit.
Di Indonesia, insiden demam tifoid masih tinggi bahkan menempati urutan ketiga diantara negara-negara di dunia. Penyakit ini didapatkan sepanjang tahun dengan angka kesakitan pertahun mencapai 157/100.000 populasi pada daerah semi rural dan 810/100.000 populasi pada daerah urban dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan riset kesehatan dasar yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes tahun 2007 ditemukan prevalensi penderita demam tifoid sebesar 1,6%.
Demam Tifoid erat kaitannya dengan higienitas atau kebersihan. Bakteri penyebab tifoid senang hidup di makanan kotor ataupun tanah sehingga bila seseorang mengonsumsi makanan kotor dan saat daya tahan tubuhnya rendah, bakteri akan menyerang usus orang tersebut. Selanjutnya, bakteri masuk ke dalam peredaran darah dan terjadinya penyakit tifoid.
Disertasi yang diteliti oleh Dr. dr. Nataniel Tandirogang, M dalam menempuh program Doktor di FK UGM adalah “Hubungan Gen Pengkode Flagellin S. typhi dengan Distribusi Geografis, Motilitas dan Melena pada Penderita demam Tifoid di Kutai Barat, Kalimantan Timur.” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kekerabatan S. typhi dan pola penyebarannya di Kutai Barat, mengetahui keberadaan gen pengkode flagellin S. typhi dan penyebarannya di Kutai Barat, mobilitas S. typhi secara in vitro berdasarkan gen pengkode flagelin yang dimilikinya dan pengaruhnya terhadap kejadian melena pada penderita demam tifoid di Kuta Barat. Disimpulkan bahwa keragaman genetik S. typhi di Kutai Barat sangat tinggi dan membentuk kluster pada populasi.
Dr. Nataniel yang baru saja menyelesaikan studi S3 di FK UGM, juga merupakan staf di FK Universitas Mulawarman. Bertindak sebagai promotor Prof. drh. Widya Asmara, SU., Ph.D dari FKH UGM. Di FK UGM, dr. Nataniel merupakan Doktor ke-164, sedang di UGM Doktor ke-2.673. (Dian/IRO)