Site icon FK-KMK UGM

Transformasi Kesehatan Nasional dan Global: Plenary 1 Bahas Tantangan dan Peluang Kebijakan Kesehatan 2025

FK-KMK UGM. Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (KMK) serta Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) menggelar sesi Plenary 1 bertajuk Outlook Sistem Kesehatan Nasional dan Global Tahun 2025 pada Selasa (18/02) di Gunung Kidul. Acara ini menghadirkan dua narasumber, yaitu Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., yang membahas isu strategis nasional, serta Prof. dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc., Ph.D., FRSPH., yang mengulas tantangan dan kebijakan kesehatan global.

Dalam pemaparannya, Prof. Laksono menekankan bahwa tema dalam pertemuan tahunan ini sejalan dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2025 tentang percepatan peningkatan akses dan mutu layanan kesehatan primer. Kebijakan ini merupakan bagian dari transformasi kesehatan yang telah dimulai dengan hadirnya Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Dinamika kebijakan baru yang muncul dari pemerintahan saat ini membawa tantangan sekaligus peluang bagi sistem kesehatan nasional.

Prof. Laksono menggambarkan perjalanan kebijakan ini sebagai “History in the Making”, sebuah fase krusial yang dapat menentukan arah kebijakan kesehatan di masa depan. Ia menyoroti pentingnya pendekatan riset implementatif, yang menghubungkan kebijakan dengan penelitian untuk mengevaluasi efektivitas transformasi kesehatan. FK-KMK UGM, lanjutnya, dapat berperan sebagai lembaga akademik independen yang mengedepankan riset berbasis bukti, dengan menggerakkan kolaborasi antar disiplin ilmu, baik di internal UGM maupun dengan institusi eksternal. Dengan melibatkan berbagai pihak dari akademisi hingga praktisi, riset implementatif dapat menghasilkan rekomendasi kebijakan yang lebih komprehensif.

Sementara itu, Prof. Yodi membahas lanskap kesehatan global yang semakin kompleks, terutama akibat ketidakpastian pendanaan di sektor kesehatan. Ia mengungkapkan bahwa perubahan kebijakan di Amerika Serikat, termasuk pembubaran USAID dan langkah efisiensi yang diambil beberapa negara donor, telah menggeser pola pendanaan global. Hal ini menuntut institusi akademik dan riset untuk lebih kreatif dalam mencari sumber pembiayaan alternatif.

Untuk mengatasi tantangan ini, Prof. Yodi mengusulkan strategi diversifikasi sumber pendanaan, termasuk menjalin kemitraan dengan sektor swasta, filantropi, dan crowdfunding. Selain itu, ia menekankan pentingnya memperkuat kolaborasi domestik dan regional, serta mengembangkan riset inovatif yang selaras dengan realitas pendanaan baru. Advokasi berbasis bukti juga menjadi langkah krusial dalam memastikan hasil penelitian dapat diimplementasikan dalam kebijakan kesehatan.

Dalam sesi diskusi, para peserta mengajukan pertanyaan seputar strategi pendanaan, independensi riset, serta keterkaitan antara penelitian dan kebutuhan praktis di lapangan. Menanggapi hal ini, para narasumber menegaskan bahwa memahami profil donor serta kepentingan politik di balik pendanaan sangat penting. Penggunaan Data Science for Knowledge (DaSK) juga dapat menjadi alat bagi akademisi dalam menunjukkan transparansi dan independensi riset, meskipun tetap berorientasi pada kebutuhan pemangku kebijakan.

Dengan semakin kompleksnya tantangan kesehatan di tingkat nasional dan global, momentum ini menjadi ajang bagi akademisi, peneliti, dan praktisi untuk beradaptasi dengan perubahan serta menjawab kebutuhan yang ada. Melalui pendekatan kolaboratif dan inovatif, proses transformasi kesehatan di Indonesia dapat terus berlanjut seiring dengan komitmen terhadap Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera, SDG 9: Industri, Inovasi, dan Infrastruktur, serta SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan. (Kontributor: Alif Indiralarasati/ Editor: Sitam).

Exit mobile version