FK-KMK UGM. Terapi hutan atau forest wellness kini menjadi perhatian dalam diskusi lintas sektor yang diselenggarakan oleh akademisi dan praktisi kesehatan pada pertengahan 2025. Kegiatan ini bertujuan untuk menggali potensi pemanfaatan hutan sebagai sarana terapi kesehatan fisik dan mental, serta mengidentifikasi peluang kolaborasi antara sektor kesehatan, kehutanan, dan pariwisata untuk menjadikannya sebagai layanan kesehatan berbasis wisata, khususnya untuk segmen non-BPJS.
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., menyampaikan bahwa forest wellness didefinisikan sebagai pemanfaatan area hutan untuk meningkatkan kesehatan manusia melalui pendekatan forest healing, yang dilakukan oleh terapis profesional. Namun, pengembangan terapi ini di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, terutama minimnya jumlah terapis bersertifikasi yang fokus pada forest healing. Hal ini berbeda dengan forest guide yang kini sudah mulai banyak ditemui di kawasan wisata alam.
Paparan pertama disampaikan oleh Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut., M.Agr.Sc., yang menyoroti kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia sebagai aset penting dalam pengembangan terapi hutan. Kawasan seperti Taman Nasional Gunung Merapi dan Merbabu dinilai memiliki potensi sebagai lokasi forest healing, dengan catatan harus melalui proses identifikasi, verifikasi, dan penyesuaian lokasi sesuai kebutuhan terapi. Menurutnya, pemanfaatan hutan untuk terapi kesehatan bukan hanya menjadi domain sektor kehutanan dan kesehatan saja, namun perlu dukungan dari pemerintah, masyarakat, dan lintas sektor lainnya untuk menjamin keberlanjutannya.
Melengkapi sesi tersebut, dr. F.R. Herin Anggreni P., M.Biomed (AAM), menjelaskan integrasi forest healing dengan kedokteran integratif dan pariwisata kesehatan. Berdasarkan laporan global tahun 2023, isu kesehatan mental menjadi permasalahan utama yang dihadapi masyarakat dunia. Oleh karena itu, forest therapy hadir sebagai pendekatan modern yang dapat membantu pemulihan mental dan fisik dengan cara alami. Ia menjelaskan bahwa forest healing terbagi menjadi dua bentuk, yakni forest bathing, yang bersifat non-klinis dan dapat dilakukan mandiri atau dengan panduan forest guide, serta forest therapy, yang bersifat klinis dan membutuhkan pendampingan oleh tenaga kesehatan profesional.
Penerapan forest therapy memerlukan proses yang terstruktur, dimulai dari identifikasi lokasi, parameter lingkungan yang sesuai, hingga penilaian kondisi kesehatan peserta terapi. Keberhasilan inisiatif ini bergantung pada kerja sama lintas sektor, mulai dari rumah sakit sebagai penyedia layanan dan rujukan pasien, masyarakat sebagai pelaksana kegiatan di lapangan, serta universitas yang berperan dalam riset dan pengembangan metode terapi berbasis bukti ilmiah.
Diskusi ini menegaskan bahwa forest wellness bukan sekadar tren, tetapi merupakan bentuk inovasi dalam layanan kesehatan yang mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 3: kehidupan Sehat dan Sejahtera, SDG 4: Pendidikan Berkualitas berkaitan dengan tentang pendidikan dan pelatihan tenaga profesional kesehatan yang relevan, serta SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan. Kolaborasi dalam pengembangan terapi hutan diyakini akan memperkuat ekosistem pelayanan kesehatan yang holistik dan berkelanjutan di Indonesia. (Kontributor: Bestian Ovilia).