Site icon FK-KMK UGM

Kolaborasi Lintas Sektor Dorong Inovasi Medical Wellness di Indonesia

FK-KMK UGM. Pengembangan health tourism menjadi topik hangat dalam diskusi lintas sektor yang diselenggarakan untuk mengidentifikasi potensi, tantangan, serta langkah strategis memperkuat industri wisata kesehatan di Indonesia. Kegiatan ini berlangsung dengan semangat kolaboratif dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari akademisi, praktisi kesehatan, pelaku industri pariwisata, hingga pembuat kebijakan. Fokus utama pembahasan adalah pengembangan layanan medical wellness, yakni layanan kesehatan yang menggabungkan pendekatan medis dengan upaya promotif dan preventif secara holistik guna mencapai kualitas hidup yang optimal.

Medical wellness mencakup berbagai aspek seperti gaya hidup sehat, kebugaran, kecantikan, pengobatan tradisional, kesehatan mental, manajemen berat badan, dan peningkatan kualitas hidup. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., menegaskan bahwa momentum pasca-pandemi adalah waktu yang tepat untuk menghidupkan kembali pariwisata Indonesia melalui pendekatan health tourism. Ia membedakan dua perspektif utama, yaitu medical tourism yang menitikberatkan pada pengobatan dengan biaya rendah namun berkualitas, dan wellness tourism yang berfokus pada pencegahan serta pemeliharaan kebugaran. Lewat analisis Porter Five Forces, ia menunjukkan bahwa meskipun belanja kesehatan nasional masih minim, tingginya pengeluaran pribadi masyarakat dalam sektor ini menjadi peluang untuk mendorong pertumbuhan health tourism secara ilmiah dan terintegrasi.

Potensi pengembangan health tourism paling menonjol berada di Bali, sebagaimana dipaparkan oleh I Gede Wiryana Patra Jaya, M.Kes. Ia menyebutkan bahwa kekayaan alam dan budaya Bali menciptakan ekosistem ideal untuk wisata kesehatan yang tidak hanya menyembuhkan, tetapi juga menenangkan. Namun, untuk mewujudkannya diperlukan standar internasional, sistem pemasaran yang tepat, sertifikasi, dan pelatihan sumber daya manusia yang mumpuni. Sinergi antara pemerintah, akademisi, sektor bisnis, komunitas, dan media menjadi kunci utama dalam membangun jejaring yang kuat dan program yang berkelanjutan, mulai dari pra-implementasi hingga pasca-program.

Senada dengan hal tersebut, Elisabeth Listyani turut menyoroti peluang pengembangan medical wellness di Bali yang saat ini belum optimal. Meskipun SDM telah tersedia dari berbagai institusi pendidikan dengan kompetensi seperti spa & wellness hingga pengobatan tradisional, belum adanya kurikulum standar dan pelatihan spesifik untuk tenaga medis menjadi hambatan besar. Dibandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand, Indonesia masih tertinggal dalam hal kualitas dan kuantitas tenaga profesional. Maka dari itu, diperlukan perencanaan strategis dan sistematis agar para pelaku industri dan penyedia layanan medical wellness di Indonesia mampu bersaing secara global.

Diskusi berlangsung aktif dengan antusiasme peserta yang menyuarakan pentingnya membangun komunikasi efektif antar tenaga kesehatan dan pemangku kepentingan, serta penguatan dasar-dasar keilmuan seperti anatomi dan fisiologi. Upaya ini diharapkan mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera, SDG 4: Pendidikan Berkualitas, dan SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan. Melalui inovasi, kolaborasi, dan penguatan sistem yang berkelanjutan, Indonesia diyakini mampu menjadi pemain utama dalam industri health tourism dunia. (Kontributor: Firda Alya).

Exit mobile version