Site icon FK-KMK UGM

FK-KMK UGM Soroti Ketimpangan Layanan Cath-Lab dalam Webinar Bukti untuk Kebijakan Kesehatan

FK-KMK UGM. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) menyelenggarakan webinar bertajuk “Perluasan Pelayanan Cath-Lab untuk Menjalankan Amanah UUD 1945, ataukah Sebuah Proyek Mercusuar?” pada Kamis, 16 Januari 2025. Kegiatan ini menghadirkan dua narasumber dari dua belahan dunia—Boston dan Yogyakarta—serta diikuti oleh akademisi, praktisi kesehatan, dan pembuat kebijakan. Diskusi ini menjadi bagian dari seri webinar PKMK yang mengangkat pentingnya penggunaan bukti dalam pengambilan kebijakan kesehatan nasional.

Webinar dibuka oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., dosen Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM. Dalam pengantarnya, Prof. Laksono menyoroti perbedaan pandangan mengenai perluasan layanan Cath-Lab (kateterisasi jantung) di Indonesia. Di satu sisi, perluasan ini dipandang sebagai proyek teknologi tinggi yang belum merata dan berisiko menjadi mercusuar. Namun di sisi lain, hal ini juga dilihat sebagai bentuk upaya memenuhi amanat konstitusi, yaitu mewujudkan keadilan sosial dalam layanan kesehatan. Oleh karena itu, diskusi ini penting untuk meninjau bukti dan risiko melalui perspektif geospasial dan keadilan sosial—sejalan dengan semangat SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera.

Paparan pertama disampaikan oleh dr. Farizal Rizky Muharram, mahasiswa S2 Harvard Medical School, langsung dari Boston. Berdasarkan analisis data distribusi Cath-Lab di Indonesia pada periode 2017–2022, Farizal menunjukkan bahwa jumlah fasilitas Cath-Lab memang meningkat signifikan, namun distribusinya masih sangat timpang. Fasilitas lebih banyak terpusat di kota-kota besar di Pulau Jawa, sementara wilayah timur Indonesia masih minim layanan. Menggunakan pendekatan analisis geospasial dan indeks ketimpangan seperti Rasio Gini, Farizal menegaskan bahwa ketidakmerataan ini berdampak pada akses layanan kardiovaskular yang tidak setara antarwilayah.

Sesi kedua dilanjutkan oleh M. Faozi Kurniawan, SE., Akt., MPH., peneliti PKMK FK-KMK UGM, yang mengupas data klaim BPJS untuk tindakan Cath-Lab sepanjang 2015–2023. Faozi mencatat peningkatan klaim yang sangat tinggi di Regional 1 (Pulau Jawa), sementara wilayah Regional 5 (Papua dan Maluku) menunjukkan tren stagnan. Hal ini menandakan adanya ketimpangan dalam pemanfaatan teknologi Cath-Lab di berbagai daerah. Ia juga menekankan pentingnya pengaturan pembiayaan yang lebih strategis agar Cath-Lab dapat dimanfaatkan secara merata oleh seluruh peserta BPJS—mendukung SDG 10: Berkurangnya Kesenjangan dan SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan.

Dalam sesi tanggapan, Prof. Laksono menggarisbawahi bahwa mekanisme pasar masih sangat mendominasi perluasan layanan Cath-Lab di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Data menunjukkan bahwa jika sebuah daerah telah memiliki Cath-Lab, maka cenderung akan terus bertambah. Sebaliknya, daerah tanpa fasilitas ini akan terus mengalami kekosongan layanan. “Harusnya JKN dapat menekan dominasi pasar melalui intervensi negara, tetapi kenyataannya belum demikian,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa dalam 10 tahun terakhir, bukannya mengecil, justru disparitas layanan semakin meningkat. Oleh karena itu, perluasan layanan Cath-Lab harus dilakukan secara adil dan merata. “Ini bukan sekadar soal teknologi, tapi tentang menjalankan amanat UUD 1945 untuk menghadirkan keadilan sosial dalam layanan kesehatan,” tegasnya.

Sesi diskusi berlangsung interaktif dengan melibatkan kardiolog, neurolog, peneliti implementasi, serta akademisi dari berbagai wilayah. Para peserta menyampaikan berbagai tantangan di lapangan, seperti minimnya infrastruktur di daerah terpencil, kebutuhan pelatihan tenaga medis, dan keterbatasan anggaran. Meski tidak ada yang menyatakan ekspansi Cath-Lab sebagai proyek mercusuar, para peserta menekankan perlunya perencanaan bertahap dan implementasi yang matang.

Sebagai penutup, Prof. Laksono mengajak seluruh pihak untuk tidak hanya memprioritaskan perluasan Cath-Lab di daerah yang sudah mapan, tetapi juga menjangkau daerah yang selama ini tertinggal. “Dengan pendekatan berbasis bukti dan riset implementasi yang kuat, perluasan layanan Cath-Lab bukanlah proyek mercusuar. Ini adalah bentuk nyata komitmen terhadap keadilan sosial dalam kerangka konstitusi kita,” pungkasnya. (Kontributor: Fajrul Falah).

Exit mobile version