FK-UGM. Dalam pelayanan kesehatan, morfin merupakan obat esensial untuk mengatasi nyeri berat. Sesuai dengan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), Kemenkes 2014, ketersediaan morfin terdapat dalam bentuk lepas cepat 10mg dan lepas lambat 10mg dan 30mg. Selain itu juga tersedia dalam bentuk sediaan injeksi intramuskuler, sukutan dan intravena (im/sk/iv 10mg/Ml).
Penggunaan morfin dalam kedokteran masih dirasakan sangat kurang diakibatkan oleh ketersediaan morfin rumah sakit yang sangat rendah. Penyediaan morfin dihitung berdasarkan jumlah kebutuhan riil yang dikeluarkan rumah sakit. Apabila penggunaan rendah, otomatis perencanaan ketersediaan juga menjadi rendah.
Penjaminan akses terhadap morfin bagi penderita nyeri berat merupakan salah satu pemenuhan hak asasi manusia karena merupakan pemenuhan hak atas kesehatan. Upaya untuk meningkakan akses morfin telah dilakukan pemerintah dengan menerbitkan seperangkat regulasi yang menjamin akses morfin untuk mengatasi nyeri berat pasien di pelayanan kesehatan. Regulasi tersebut telah mengatur bahwa pemerintah menjamin ketersediaan obat dari golongan narkotika untuk pelayanan kesehatan.
Industri farmasi hanya akan memproduksi tablet morfin jika mendapat penugasan dari pemerintah. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditunjuk oleh pemerintah untuk memproduksi morfin adalah PT. Kimia Farma, Tbk. Industri farmasi akan memproduksi morfin apabila kebutuhannya jelas dengan penerapan yang sesuai. Oleh karenanya, perlu komunikasi intensif antara rumah sakit dan produsen morfin agar hasil produksi morfin tepat sasaran untuk pelayanan nyeri berat.
Pasien kanker, merupakan pasien yang biasanya mendapatkan resep morfin. BPJS hanya memperbolehkan dokter di unit pelayanan kesehatan tingkat 2 dan 3 atau di rumah sakit untuk memberikan resep morfin. Hal ini merupakan salah satu bentuk kontrol pemerintah terhadap penggunaan morfin untuk kepentingan medis, mengingat bahwa diagnosis dan penanganan kanker hanya dilakukan di rumah sakit.
Meskipun telah dirasakan kemanfaatan dan keuntungan morfin bagi pasien, masih banyak dokter yang enggan untuk memberikan resep morfin. Atau di sisi lain, pasien seringkali menolak penggunaan obat ini dikarenakan ketakutan akan efek ketergantungan dan morfin merupakan obat terlarang.
Kendala stigma dan kendala internal disebut-sebut menjadi alasan keengganan dari dokter, petugas apoteker maupun pasien itu sendiri. Pertama, stima terhadap morfin itu sendiri yakni adanya rumor ketergantungan terhadap morfin menjadikan dokter ataupun apoteker menjamin ketersediaan ataupun pemanfaatan obat tersebut bagi pasien. Kedua, ketakutan kriminalisasi dokter untuk dituntut secara hukum. Faktanya, sepanjang penggunaan morfin masih berada di jalur medis maka akan dilindungi secara hukum.
“Penggunaan morfin dalam jalur medis adalah legal, dan ketergantungan terhadap morfin yang mengarah pada penyalahgunaan dapat dikatakan tidak pernah dijumpai”, tegas staf Departemen Farmakologi, dr. Rustamaji, M.Kes saat menjalani ujian terbuka Doktor di ruang Senat gedung KPTU lantai 2 Fakultas kedokteran UGM, Selasa (27/9) dengan mengambil judul: “Akses Terhadap Morfin dalam Penerapan Kebijakan Obat Nasional di Indonesia”.
Pernyataan Rustamaji tersebut semakin menegaskan bahwa kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan morfin oleh pasien tidak seharusnya menjadi penghalang bagi pasien untuk mendapatkan pengobatan dengan analgetika opioid morfin.
Penelitian yang dipromotori oleh Prof.Dr. Sri Suryawati, Apt., ini lebih mengutamakan keberpihakan kepada kepentingan pasien agar mendapatkan akses anti nyeri yang tepat misalnya pada pasien kanker. Rekomendasi yang diusulkan oleh staf kelahiran Kudus sekaligus peraih gelar Doktor ke-3.809 UGM dan ke-258 Fakultas Kedokteran UGM ini adalah adanya jaminan ketersediaan akses obat esensial khususnya morfin melalui kebijakan khusus untuk mengantisipasi hambatan dalam ketersediaan morfin di pusat-pusat pelayanan kesehatan. (Wiwin/IRO)
Berita terkait:
https://ugm.ac.id/id/berita/12558-penggunaan.morfin.untuk.kesehatan.masih.rendah