Site icon FK-KMK UGM

Dokter Spesialis di Indonesia

Dokter spesialis adalah tenaga kesehatan strategis yang menjalani peran penting dalam pelayanan kuratif. Namun demikian, data menunjukkan bahwa sampai saat ini masih banyak rumah sakit yang kekurangan dokter spesialis yang lengkap. Banyak wilayah yang belum memiliki dokter spesialis walaupun telah memiliki rumah sakit. Tujuan dari penelitian ini adalah menggambarkan keterlekatan dokter spesialis, menjelaskan faktor-faktor yang berhubungan dengan keterlekatan tersebut. Serta menguraikan kebijakan pengelolaan, terutama pada aspek distribusi dokter spesialis, pada tingkat pusat dan daerah, yang juga berkaitan dengan keterlekatan dokter spesialis di tingkat rumah sakit.

“Keberadaan dokter spesialis masih diperlukan di rumah sakit. Tanpa pelayanan spesialistik, maka misi pelayanan rumah sakit tidak dapat dijalankan,” ungkap dr. Andreasta dalam disertasinya untuk memenuhi derajat Doktor dalam Prodi Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM. Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH., M.Kes., MAS memaparkan pula bahwa hubungan kemitraan antara rumah sakit sebagai organisasi dengan dokter sebagai professional yang bekerja di dalamnya masih belum diformulasikan dengan jelas. Rumah sakit sebagai organisasi yang mempekerjakan dokter spesialis seringkali berada dalam posisi sulit untuk mendapatkan tenaga dokter karena sedikitnya jumlah dokter dibandingkan dengan keberadaan rumah sakit. Manajemen rumah sakit masih sering mengalami hambatan untuk mengatur jam kerja dan mekanisme kerja para dokter spesialis karena kultur pendidikan dokter yang berbeda-beda. Perbedaan ini mengakibatkan terjadinya variasi pola pengobatan dalam satu rumah sakit, sehingga menimbulkan inefisiensi.

“Selama kurun waktu 2009-2013, seluruh universitas yang menyelenggarakan pendidikan dokter spesialis di Indonesia telah menghasilkan 6.633 dokter spesialis dari berbagai jenis spesialisasi,” ungkap dr. Andre. Jumlah dokter spesialis yang mendominasi di Indonesia, yaitu: Spesialis Kebidanan dan Kadungan (14%), Spesialis Anak (13%), Spesialis Penyakit Dalam (12%), dan Spesialis Bedah (8%). Sebaliknya jumlah yang paling sedikit yaitu: Spesialis Penerbangan (0.030%), Spesialis Kelautan (0.035%), dan Spesialis Parasitologi Klinik (0.078%).

Diperlukan kebijakan khusus untuk mendukung strategi intervensi pemerataan dokter spesialis di area yang kurang terlayani. Berdasarkan penelitian suami dari dr. Dian Pratiwi, M.Sc., Sp.PD, memaparkan usulan kebijakan yang dapat dikembangkan antara lain:

  1. Pemerintah mengambil alih pengadaaan/rekrutmen, penempatan-distribusi, dan retensi dokter spesialis di daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), terutama daerah dengan status distribusi statis.
  2. Pemerintah mengembangkan berbagai model hubungan kontraktual (mulai dari permanen, seperti pengangkatan menjadi PNS, sampai dengan yang temporer, misalnya melalui mekanisme PTT atau penugasan khusus), baik yang berbasis perorangan atau kelompok.
  3. Pemerintah bekerja sama dengan LSM atau organisasi swasta lainnya, mengembangkan mekanisme pengadaan, penempatan-distribusi, dan retensi dokter spesialis, demi terselenggaranya pelayanan kesehatan di DTPK.
  4. Pemerintah mengatur program pelatihan, pengumpulan angka kredit, dan pengembangan karir dokter spesialis di DTPK, dimana pengaturan tersebut tidak sama dengan yang berlaku secara nasional, dengan tujuan utnuk menyesuaikan mekanisme pelatihan, angka kredit, dan pengembangan karir di DTPK.
  5. Pemerintah bekerja sama dengan berbagai asosiasi profesi mengembangkan mekanisme task-shifting dan regulasinya.
  6. Insentif yang diberikan kepada dokter spesialis yang berminat untuk bekerja di DTPK berbentuk insentif material (direct incentive) dan immaterial (indirect incentive berupa pendidikan, pinjaman pendidikan, kontrak pendidikan, serta pengurangan masa bakti).
  7. Pemerintah mengatur kembali mekanisme remunerasi bagi dokter spesialis yang bekerja di DTPK.
  8. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bersama-sama memonitor keberadaan dan kinerja dokter spesialis di DTPK.
  9. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bekerja sama untuk mendidik potensi calon dokter spesialis local agar dapat mengembangkan kompetensi sebagai dokter spesialis serta memiliki loyalitas untuk bekerja di DTPK.
  10. Pemerintah menetapkan kembali usia pension bagi dokter spesialis di DTPK, dengan memperhatikan jumlah profesi yang tersedia, kompetensi dan kapasitas individual, serta kebutuhan di lapangan.

Keterlekatan dokter spesialis dengan rumah sakit dan di wilayah kerjanya berkaitan dengan fasilitas professional serta kebijakan distribusi tingkat lokal dan nasional. Peran pemerintah dalam mengatur produksi dan distribusi dokter spesialis masih dapat ditingkatkan.

dr. Andreasta Meliala adalah dosen di Fakultas Kedokteran UGM dan merupakan doktor ke-209 dan ke-2.830 se-UGM. bertindak sebagai promotor adalah Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D dan ko-promotor Prof. dr. Adi Utarini, M.Sc., MPH., Ph.D. Melalui disertasi dengan judul “Kebijakan Distribusi dan Keterlekatan Dokter Spesialis di Indonesia” mengantarkan dr. Andre lulus dengan predikat sangat memuaskan. (Dian/IRO)

Exit mobile version